Bujang
Sadry El-Metafor
Sudin yang tak biasa mengenakan kopiah barunya di hari itu dengan seksama menatap celah-celah atap rumbia belakang rumah. Memang rumah berarsitektur tradisional yang ia tempati sendirian beberapa tahun belakangan tersebut sudah lama tak tersentuh oleh hiruk-pikuk keramaian, tangisan bayi, jeritan girang anak-anak, bahkan sungutan ibu-ibu ketika memarahi cengkrama anak-anak mereka yang berlebihan. Kali ini keluarga atau sanak saudara Sudin kembali berkumpul di rumah klasik peninggalan mendiang Ayah dan Ibunya. Barangkali salah satu warisan yang dititipkan kepada Sudin.
Sungguh ironi. Sudin yang di hari ini sepatutnya riang gembira berkumpul bersama keluarga namun sebaliknya. Wajah sedih dan gelisahnya menembuh riuhnya suasana. Di belakang rumah yang menghadap ke laut ia mencoba melukiskan gejolak jiwa di asinnya hari.
“Engkau kenapa, Din? Sakit?”
“Taklah Kak. Biasa saja.”
Kakak sulung Sudin yang sudah berkepala 6 tersebut memecahkan lamunannya. Barangkali kakaknya pun tak bisa menebak apa yang menjadi punca masalahnya hingga Sudin bermuram muka seperti itu.
Dan satu lagi, hari itu adalah masa persiapan di mana ia akan melaksanakan prosesi pernikahannya dengan gadis desa yang merupakan rekan kerjanya juga. Dan sepatutnya ia bersenang hati. Tapi, tidak.
Hari itu semua abang dan kakaknya berkumpul bersama di rumah tua adik bungsu mereka ini, Sudin. Rumah yang tak pernah ia tambah atau kurangi properti di dalam maupun luarnya. Memang sebagai orang bujang yang tinggal sendirian harus berhemat. Konon cerita, dulu oleh abang dan kakaknya menjuluki Sudin dengan gelar “Tangkai Jering[1]”. Karena sejak kecil Sudin memang orangnya sangat pelit, atau dalam bahasa lain orang yang suka berhemat bahkan berlebihan dalam berhemat, makanya ia mendapatkan gelar tersebut.
Tentu bagi abang dan kakaknya selain untuk bersilaturahmi juga memperbincangkan mengenai pelaksanaan acara pernikahan Sudin. Berbagai macam persiapan yang perlu dipersiapkan dengan matang. Dan seperti masyarakat biasanya, resepsi pernikahan ini tentunya akan dilumuri dengan corak-corak budaya setempat. Di dalam permusyawarahan, Sudin sebagai orang yang bisa dikatakan berpendidikan tinggi jika dibandingkan dengan kakaknya, ternyata ia tak sepakat dengan pelaksaan “Tepuk Tepung Tawar” dalam prosesi acara pernikahannya. Namun bagi keluarga Sudin, Tepuk Tepung Tawar ini patut dilaksanakan sebagai unsur adat mereka yang perlu dilestarikan.
“Dalam Islam tak ada istilah pelaksaan Tepuk Tepung Tawar. Itu hanya adat dan tak perlu kita ikut.” Sudin membela diri.
“Tapi, kita sekedar melestarikan budaya kita, Din. Lagi pun supaya lebih meriah acaranya. Dulu kami semua menikah pun mengikut perintah Abah dan Emak kita untuk melakukan Tepuk Tepung Tawar ni.” Salah seorang abang Sudin memberi penjelasan dan mencoba meyakinkan Sudin.
Sudin kembali berdalih, “Tapi Bang, dalam kajian Islam bahwa Tepuk Tepung Tawar ini memiliki unsur syiriknya. Karena diyakini sebagai media untuk meminta keselamatan. Bukankah untuk meminta keselamatan itu langsung berdo’a kepada Allah. Tak perlu pakai Tepuk Tepung Tawar lagi.”
“Sudin!!! Dengar cakap abang kau ni. Tak guna kau kami sekolahkan tinggi-tinggi, tapi merusak adat resam sendiri.” Nada mulai meninggi keluar dari mulut kakak sulungnya.
“Tapi kak…”
“Tapi, Tepuk Tepung Tawar ini hal yang mubazir, kak! Beras ditabur-taburkan, semua dihambur-hamburkan. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa orang yang suka bermubazir itu kawannya syaitan. Masih banyak orang di luar sana yang tak bisa makan, sedangkan kita malah membuang-buang makanan.”
Mereka terdiam. Barangkali alasan yang ia berikan sesuai dengan jiwanya yang super hemat alias pelit itu. Tak ada kata-kata atau dalih-dalih pembelaan lagi yang keluar dari mulutnya setelah sudin berargumen panjang lebar.
***
Sudin memang tak selalu beruntung. Setelah kemenangannya dalam perdebatan bersama abang dan kakaknya, namun kini berbeda pula dengan pihak mempelai wanita.
“Bang, kenapa abang tak mau membuat acara pernikahan kita sedikit meriah? Soal biayakan tak ada masalah. Lagi pula abang kan orang yang cukup dikenal di pemerintah kecamatan. Biarlah acara sekali seumur hidup ini kita rayakan dengan sedikit meriah.”
“Abang bukan tak mau, Mawar. Tapi terkadang acara-acara seperti itu terkesan hura-hura, bahkan ada yang mubazir. Bukankan masih banyak yang diluar sana membutuhkan lagi”
“Tapi mawar tak pernah pula lihat Abang memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan itu. Malah Abang pernah bilang, tak perlu kita berikan mereka bantuan. Biar mereka berusaha sendiri. Kan mereka punya keluarga, mintalah bantuan dengan sanak saudaranya. Mawar masih ingat apa yang Abang katakan dulu.”
Sudin terdiam.
“Mawar… kita ini akan berkeluarga. Nanti pasti lebihnya banyak tanggungan yang akan kita siapkan untuk keluarga kita. Kita harus mempersiapkan untuk masa depan. Biarlah kita sederhana dalam merayakan pernikahan ini.”
“Semut di dalam batu pun bisa hidup, Bang. Untuk masa depan kita bisa berusaha nantinya. Sedangkan pernikahan ini moment yang berharga seumur hidup Bang. Lagi pula Abang kan tahu kalau Abah Mawar tokoh adat di kampung ini. Takutnya kalau kita tak buat seperti yang biasa dibuat di kampung ini, orang tua Mawar tak mau merestui hubungan kita. Mawar takut Bang.”
“Sudahlah Mawar. Kita serahkan semua ini kepada Allah.”
Hening.
***
Memang Allah telah mengaturnya. Pernikahan mereka tak menjadi. Pihak mempelai wanita terpaksa membatalkan pernikahan tersebut. Terlebih lagi ayah dari mempelai wanita itu––tokoh masyarakat yang cukup disegani––dengan sejuta malu tidak merestui mereka berdua.
Berbeda dengan Sudin, orang yang seharusnya merasa malu dikarenakan gagal untuk merangakai ikatan rumah tangga, tapi ia malah tersenyum wibawa dengan rokok di celah bibirnya. Hari itu masih saja dia termenung menatap asinnya laut di belakang rumah. Rumah yang sejak dulu sepi, masih saja tetap sepi. Sudin orang yang berharta itu, dengan gaji yang cukup tinggi dibiayai oleh pemerintah, namun enggan hidup ramai. Barangkali ia lebih suka sendiri di setiap hari-harinya. Atau mungkin ia lebih suka berhemat. Barangkali itu.
Pihak keluarga sudin pun tak lagi berkunjung ke rumahnya. Entah karena marah dengannya, atau memang ada kesibukan lain. Entahlah.
“Aku memang tak butuh pendamping hidup. Yang pentingkan bisa menjalan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.” Belanya dalam hati.
Petang itu tak seperti biasanya. Matahari yang biasanya hangat, kini ditaburi dengan gerimis senja yang cukup sakral. Barangkali ini suatu pertanda. Atau mungkin hanya fenomena alam sahaja. Namun saat itu Sudin sedang asyiknya menjoran ikan di ujung dermaga, mungkin untuk melepaskan sesaknya hari setelah menghadapi masalahnya sendiri. Untuk menghibur diri dengan sebatang rokok klasiknya itu, di sisinya terlantun berbagai macam lagu pop dari sebuah frekuensi radio yang menyajikan seribu warna musik. Dan memang ia terlena, dan tak sadar akan gerimis yang menampakkan diri dari bintik-bintik air di lautan itu.
Tiba-tiba di tengah laut terlihat seorang wanita yang sudah renta sedang tertatih-tatih mengayuh sampan kecilnya. Wajah yang sangat familiar bagi Sudin di saat perahu kayu itu semakin mendekat ke arah dermaga yang Sudin duduki. Ditambah rinyai hujan membuat suasana menjadi syahdu bahkan iba. Tak biasanya Sudin berwajah pilu seperti ini.
“Ibukah itu? Ibu!!!!” pekik Sudin ke arah perahu yang mulai melabuh itu.
Memang wajah yang sudin lihat itu adalah wajah ibunya yang sudah sekian tahun meninggalkan hangatnya dunia. Kematian yang disebabkan sudin enggan membawa ibunya yang sedang sakit keras ke hospital. Tentunya dengan alasan mengingat biaya operasionalnya. Sehingga tak lagi bisa diselamatkan berpisahnya roh dari jasad ibunya.
“Ibu!!! Maafkan Sudin bu!!!” suara bariton Sudin semakin histeris, haru. Sedangkan perahu kecil tanpa atap itu semakin terombang-ambing dibelai oleh ombak yang memang kurang bersahabat dengan suasana hati Sudin senja itu.
Karam. Harapan sudin pun padam.
Sudin masih dalam posisi duduk menghadap ke laut lepas dengan sebatang jorannya yang melentur ditarik ikan. Ia tersadar. Barangkali hanya sebuah ilusi atu khayalan yang membawa sudin ke suasana dramatis itu. Ia segera mengosok-gosokkan mata dan mengarahan padangannya ke serata arah. Mencoba mencari perahu yang dikayuh ibunya tadi. Namun, nihil. Karena ini hanya sebuah ilusi. Perasaan hati yang seakan hidup nyata.
Sudin berusaha menyeka air mata yang disirami rinyai hujan yang semakin mengkuyupkan itu. Tak kuasa menahan diri, ia tinggalkan jorannya yang telah disambar ikan petang itu, dan segera berlari kecil menuju rumahnya. Rumah yang memang sangat dekat dengan dermaga kapal-kapal pengangkut barang ke negeri seberang.
***
Beberapa hari sudin tak berangkat kerja, tak keluar rumah, bahkan tak bertegur sapa dengan jiran tetangga. Entah kenapa setelah kejadian petang lalu itu membuatnya kelu. Ia terbaring dengan padangan yang sayu, tanpa selimut berbulu, dan memang membisu.
Suasana rumahnya mulai riuh rendah. Sanak keluarganya kembali berkumpul dalam duka. Melihat sudin yang enggan berkata, atau sudah tak bisa berkata-kata.
“Sudin, engkau kenapa? Kalau memang sakit, kita ke hospital saja.” Kakak sulung sudin mencoba mencari punca masalah.
“Iya Sudin. Engkau tu adik kami. Apa pun yang terjadi kita harus saling membantu.” Celah abangnya pula.
Sudin hanya bisa menggelengkan kepala. Mulutnya terkatup seakan ingin bersuara, hati teringin sangat berkata, tapi Tuhan tak mengizinnya. Tubuhnya kaku tak berdaya. Setiap pertanyaan yang disuguhkan oleh sanak keluarganya hanya dijawab dengan gelengan kepala. Padahal ia sangat ingin untuk makan, minum, berobat ke hospital, atau bahkan memancing seperti biasanya. Tapi kali ini ia seperti telur di ujung tanduk. Atau memang hidup segan, mati tak mau. Hanya terbaring dengan sejuta rasa lapar, rasa kantuk, dan dan berbagai rasa lainnya.
Tak ada tangis sanak saudara atau pun jiran, tak ada yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, tak ada kekuatan untuk beribadah kepada Tuhan, tak ada memancing di ujung pelabuhan, dan tak ada lagi nyawa di kandung badan.***
[1] Tangkai Jering/tangkai Jengkol: gelar dalam masyarakat melayu bagi orang yang sangat pelit.
Sungguh ironi. Sudin yang di hari ini sepatutnya riang gembira berkumpul bersama keluarga namun sebaliknya. Wajah sedih dan gelisahnya menembuh riuhnya suasana. Di belakang rumah yang menghadap ke laut ia mencoba melukiskan gejolak jiwa di asinnya hari.
“Engkau kenapa, Din? Sakit?”
“Taklah Kak. Biasa saja.”
Kakak sulung Sudin yang sudah berkepala 6 tersebut memecahkan lamunannya. Barangkali kakaknya pun tak bisa menebak apa yang menjadi punca masalahnya hingga Sudin bermuram muka seperti itu.
Dan satu lagi, hari itu adalah masa persiapan di mana ia akan melaksanakan prosesi pernikahannya dengan gadis desa yang merupakan rekan kerjanya juga. Dan sepatutnya ia bersenang hati. Tapi, tidak.
Hari itu semua abang dan kakaknya berkumpul bersama di rumah tua adik bungsu mereka ini, Sudin. Rumah yang tak pernah ia tambah atau kurangi properti di dalam maupun luarnya. Memang sebagai orang bujang yang tinggal sendirian harus berhemat. Konon cerita, dulu oleh abang dan kakaknya menjuluki Sudin dengan gelar “Tangkai Jering[1]”. Karena sejak kecil Sudin memang orangnya sangat pelit, atau dalam bahasa lain orang yang suka berhemat bahkan berlebihan dalam berhemat, makanya ia mendapatkan gelar tersebut.
Tentu bagi abang dan kakaknya selain untuk bersilaturahmi juga memperbincangkan mengenai pelaksanaan acara pernikahan Sudin. Berbagai macam persiapan yang perlu dipersiapkan dengan matang. Dan seperti masyarakat biasanya, resepsi pernikahan ini tentunya akan dilumuri dengan corak-corak budaya setempat. Di dalam permusyawarahan, Sudin sebagai orang yang bisa dikatakan berpendidikan tinggi jika dibandingkan dengan kakaknya, ternyata ia tak sepakat dengan pelaksaan “Tepuk Tepung Tawar” dalam prosesi acara pernikahannya. Namun bagi keluarga Sudin, Tepuk Tepung Tawar ini patut dilaksanakan sebagai unsur adat mereka yang perlu dilestarikan.
“Dalam Islam tak ada istilah pelaksaan Tepuk Tepung Tawar. Itu hanya adat dan tak perlu kita ikut.” Sudin membela diri.
“Tapi, kita sekedar melestarikan budaya kita, Din. Lagi pun supaya lebih meriah acaranya. Dulu kami semua menikah pun mengikut perintah Abah dan Emak kita untuk melakukan Tepuk Tepung Tawar ni.” Salah seorang abang Sudin memberi penjelasan dan mencoba meyakinkan Sudin.
Sudin kembali berdalih, “Tapi Bang, dalam kajian Islam bahwa Tepuk Tepung Tawar ini memiliki unsur syiriknya. Karena diyakini sebagai media untuk meminta keselamatan. Bukankah untuk meminta keselamatan itu langsung berdo’a kepada Allah. Tak perlu pakai Tepuk Tepung Tawar lagi.”
“Sudin!!! Dengar cakap abang kau ni. Tak guna kau kami sekolahkan tinggi-tinggi, tapi merusak adat resam sendiri.” Nada mulai meninggi keluar dari mulut kakak sulungnya.
“Tapi kak…”
“Tapi, Tepuk Tepung Tawar ini hal yang mubazir, kak! Beras ditabur-taburkan, semua dihambur-hamburkan. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa orang yang suka bermubazir itu kawannya syaitan. Masih banyak orang di luar sana yang tak bisa makan, sedangkan kita malah membuang-buang makanan.”
Mereka terdiam. Barangkali alasan yang ia berikan sesuai dengan jiwanya yang super hemat alias pelit itu. Tak ada kata-kata atau dalih-dalih pembelaan lagi yang keluar dari mulutnya setelah sudin berargumen panjang lebar.
***
Sudin memang tak selalu beruntung. Setelah kemenangannya dalam perdebatan bersama abang dan kakaknya, namun kini berbeda pula dengan pihak mempelai wanita.
“Bang, kenapa abang tak mau membuat acara pernikahan kita sedikit meriah? Soal biayakan tak ada masalah. Lagi pula abang kan orang yang cukup dikenal di pemerintah kecamatan. Biarlah acara sekali seumur hidup ini kita rayakan dengan sedikit meriah.”
“Abang bukan tak mau, Mawar. Tapi terkadang acara-acara seperti itu terkesan hura-hura, bahkan ada yang mubazir. Bukankan masih banyak yang diluar sana membutuhkan lagi”
“Tapi mawar tak pernah pula lihat Abang memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan itu. Malah Abang pernah bilang, tak perlu kita berikan mereka bantuan. Biar mereka berusaha sendiri. Kan mereka punya keluarga, mintalah bantuan dengan sanak saudaranya. Mawar masih ingat apa yang Abang katakan dulu.”
Sudin terdiam.
“Mawar… kita ini akan berkeluarga. Nanti pasti lebihnya banyak tanggungan yang akan kita siapkan untuk keluarga kita. Kita harus mempersiapkan untuk masa depan. Biarlah kita sederhana dalam merayakan pernikahan ini.”
“Semut di dalam batu pun bisa hidup, Bang. Untuk masa depan kita bisa berusaha nantinya. Sedangkan pernikahan ini moment yang berharga seumur hidup Bang. Lagi pula Abang kan tahu kalau Abah Mawar tokoh adat di kampung ini. Takutnya kalau kita tak buat seperti yang biasa dibuat di kampung ini, orang tua Mawar tak mau merestui hubungan kita. Mawar takut Bang.”
“Sudahlah Mawar. Kita serahkan semua ini kepada Allah.”
Hening.
***
Memang Allah telah mengaturnya. Pernikahan mereka tak menjadi. Pihak mempelai wanita terpaksa membatalkan pernikahan tersebut. Terlebih lagi ayah dari mempelai wanita itu––tokoh masyarakat yang cukup disegani––dengan sejuta malu tidak merestui mereka berdua.
Berbeda dengan Sudin, orang yang seharusnya merasa malu dikarenakan gagal untuk merangakai ikatan rumah tangga, tapi ia malah tersenyum wibawa dengan rokok di celah bibirnya. Hari itu masih saja dia termenung menatap asinnya laut di belakang rumah. Rumah yang sejak dulu sepi, masih saja tetap sepi. Sudin orang yang berharta itu, dengan gaji yang cukup tinggi dibiayai oleh pemerintah, namun enggan hidup ramai. Barangkali ia lebih suka sendiri di setiap hari-harinya. Atau mungkin ia lebih suka berhemat. Barangkali itu.
Pihak keluarga sudin pun tak lagi berkunjung ke rumahnya. Entah karena marah dengannya, atau memang ada kesibukan lain. Entahlah.
“Aku memang tak butuh pendamping hidup. Yang pentingkan bisa menjalan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.” Belanya dalam hati.
Petang itu tak seperti biasanya. Matahari yang biasanya hangat, kini ditaburi dengan gerimis senja yang cukup sakral. Barangkali ini suatu pertanda. Atau mungkin hanya fenomena alam sahaja. Namun saat itu Sudin sedang asyiknya menjoran ikan di ujung dermaga, mungkin untuk melepaskan sesaknya hari setelah menghadapi masalahnya sendiri. Untuk menghibur diri dengan sebatang rokok klasiknya itu, di sisinya terlantun berbagai macam lagu pop dari sebuah frekuensi radio yang menyajikan seribu warna musik. Dan memang ia terlena, dan tak sadar akan gerimis yang menampakkan diri dari bintik-bintik air di lautan itu.
Tiba-tiba di tengah laut terlihat seorang wanita yang sudah renta sedang tertatih-tatih mengayuh sampan kecilnya. Wajah yang sangat familiar bagi Sudin di saat perahu kayu itu semakin mendekat ke arah dermaga yang Sudin duduki. Ditambah rinyai hujan membuat suasana menjadi syahdu bahkan iba. Tak biasanya Sudin berwajah pilu seperti ini.
“Ibukah itu? Ibu!!!!” pekik Sudin ke arah perahu yang mulai melabuh itu.
Memang wajah yang sudin lihat itu adalah wajah ibunya yang sudah sekian tahun meninggalkan hangatnya dunia. Kematian yang disebabkan sudin enggan membawa ibunya yang sedang sakit keras ke hospital. Tentunya dengan alasan mengingat biaya operasionalnya. Sehingga tak lagi bisa diselamatkan berpisahnya roh dari jasad ibunya.
“Ibu!!! Maafkan Sudin bu!!!” suara bariton Sudin semakin histeris, haru. Sedangkan perahu kecil tanpa atap itu semakin terombang-ambing dibelai oleh ombak yang memang kurang bersahabat dengan suasana hati Sudin senja itu.
Karam. Harapan sudin pun padam.
Sudin masih dalam posisi duduk menghadap ke laut lepas dengan sebatang jorannya yang melentur ditarik ikan. Ia tersadar. Barangkali hanya sebuah ilusi atu khayalan yang membawa sudin ke suasana dramatis itu. Ia segera mengosok-gosokkan mata dan mengarahan padangannya ke serata arah. Mencoba mencari perahu yang dikayuh ibunya tadi. Namun, nihil. Karena ini hanya sebuah ilusi. Perasaan hati yang seakan hidup nyata.
Sudin berusaha menyeka air mata yang disirami rinyai hujan yang semakin mengkuyupkan itu. Tak kuasa menahan diri, ia tinggalkan jorannya yang telah disambar ikan petang itu, dan segera berlari kecil menuju rumahnya. Rumah yang memang sangat dekat dengan dermaga kapal-kapal pengangkut barang ke negeri seberang.
***
Beberapa hari sudin tak berangkat kerja, tak keluar rumah, bahkan tak bertegur sapa dengan jiran tetangga. Entah kenapa setelah kejadian petang lalu itu membuatnya kelu. Ia terbaring dengan padangan yang sayu, tanpa selimut berbulu, dan memang membisu.
Suasana rumahnya mulai riuh rendah. Sanak keluarganya kembali berkumpul dalam duka. Melihat sudin yang enggan berkata, atau sudah tak bisa berkata-kata.
“Sudin, engkau kenapa? Kalau memang sakit, kita ke hospital saja.” Kakak sulung sudin mencoba mencari punca masalah.
“Iya Sudin. Engkau tu adik kami. Apa pun yang terjadi kita harus saling membantu.” Celah abangnya pula.
Sudin hanya bisa menggelengkan kepala. Mulutnya terkatup seakan ingin bersuara, hati teringin sangat berkata, tapi Tuhan tak mengizinnya. Tubuhnya kaku tak berdaya. Setiap pertanyaan yang disuguhkan oleh sanak keluarganya hanya dijawab dengan gelengan kepala. Padahal ia sangat ingin untuk makan, minum, berobat ke hospital, atau bahkan memancing seperti biasanya. Tapi kali ini ia seperti telur di ujung tanduk. Atau memang hidup segan, mati tak mau. Hanya terbaring dengan sejuta rasa lapar, rasa kantuk, dan dan berbagai rasa lainnya.
Tak ada tangis sanak saudara atau pun jiran, tak ada yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, tak ada kekuatan untuk beribadah kepada Tuhan, tak ada memancing di ujung pelabuhan, dan tak ada lagi nyawa di kandung badan.***
[1] Tangkai Jering/tangkai Jengkol: gelar dalam masyarakat melayu bagi orang yang sangat pelit.
Puak yang Menepi
Oleh: Sadry SS
Pantang aku mereka-reka cerita. Lebih patut aku mentuahkan diri daripada hidup dalam tuak di hati.
“Esok kita ke sungai sajalah. Banyak ikan yang hendak dijala.” Dengan eloknya aku mengajak pemuda itu. Dialah sahabat karibku. Kadang bergaduh, juga akrab tak pula jenuh.
Beberapa hari ini dia selalu saja menolak ajakanku untuk menangkap ikan di sungai. Entah apa kiranya, tak pernah memberi alasan. Langsung saja ia pergi menuju pasar tepi sungai itu. Pelan-pelan aku tinggalkan jalaku dan segera mengekorinya dari sekian jarak. Rupanya ia hendak menjajakan ikan kering yang telah ia simpan dahulu kepada masyarakat negeri itu. Dia pernah bercerita, keluarganya sangat pandai dalam berdagang. Semua adik-beradiknya jadi pedagang.
Memang dia seorang perantau. Dia akrab dipanggil Minang. Sejak ia datang ke negeriku ini, akulah yang jadi rekan pertamanya. Karena orang kami suka mencari ikan di tepi sungai Siak, maka dia pun turut bersama kami.
“Ikan ini kalau dijual berapa harganya ya?” tanya minang dengan logatnya yang masih kental.
“Sekilo paling-paling lima puluh sen. Tapi kalau kita jajakan dari rumah ke rumah, bisa dapat lebihlah.” Jelasku cepat.
Keluargaku adalah nelayan. Aku turut juga menyelami dunia nelayan itu. Sejak kapal-kapal dari Melaka, Johor, atau kapal pedagang dari India dan Cina yang berlabuh di tepi sungai negeri kami ini, aku pasti sibuk mencari alat-alat rumah tangga yang biasa mereka bawa di kapal mereka untuk dijual.
Namaku melayu. Terlahir di negeri yang kaya akan alamnya. Tempat di mana adat nenek moyang masih dijunjung tinggi. Orang-orang suka mengajakku jika mereka hendak menjala ikan di sungai.
“Melayu, ikut aku jual ikan yok.” Ajak si Minang mengejutkan tidurku pagi itu. Sebuah kebiasaan sebelum hari mulai tinggi, tidur.
Dengan bergegas kami menjejakkan kaki ke tengah pasar, tempat di mana orang lalu-lalang mencari materi kehidupan. Beberapa orang kulihat dengan barang dagangan yang melimpah-ruah. Sesekali juga orang-orang menawarkan dengan harga murah.
Lain hal dengan Minang, sangat lihai dalam berusaha. Walau masih belia, orang-orang suka membeli ikan kering yang ia hidangkan. Hari itu ia dapat uang lebih besar dari hari yang lalu.
Kami anak negeri ini hanya hidup berharap pada arus sungai. Kadang pasang, kadang juga surut. Bintang layang-layanglah yang selalu menjadi kompas alam kami agar tahu tentang cuaca alam.
***
Mengenai negeriku, kerajaan Siak Sri Indrapura pernah bertahta di tempat kami yakni di Senapelan. Hal itu terjadi di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4 dan diteruskan puteranya pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai Sultan Siak ke-5. Dikisahkan, di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah memindahkan pusat kerajaan dari Mempura ke tempat kami ini sebagai pusat kerajaan Siak.
Pada suatu masa, Sultan Alamuddin Syah meninggal dan diberi gelar Marhum Bukit. Sultan Alamuddin Syah digantikan oleh puteranya Tengku Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Pada masa pemerintahan beliau, daerah kami berkembang pesat dengan aktivitas perdagangannya. Para pedagang datang dari segala penjuru. Maka untuk menampung derasnya arus perdagangan tersebut, dibuatlah sebuah “Pekan” atau pasar yang baru.
Pekan Baharu ini didirikan karena pertimbangan pekan lama yang didirikan oleh sultan Abdul Jalil tidak ramai dikunjungi. Karena itulah raja Muda Muhammad Ali kemudian memindahkannya ke pinggiran Sungai Siak.
Awal nama daerah kami ini senapelan. Namun, pada suatu waktu berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu.
Memang awalnya kampung kami adalah sebuah kampung nelayan yang sunyi di pinggiran Sungai Siak, kini telah menjelma menjadi gadis cantik yang menggiurkan. Berbagai-bagai puak dan suku bangsa datang ke dearah tuah ini. Termasuk si Minang.
***
“Ke pasar yok!” lagi-lagi ia mengajakku ke tempat favoritnya.
Dengan selaksa langkah kami menuju pekan yang sangat ramai dengan warna kulit puak-puak lainnya. Sederat ikan kami tajakan di atas meja kecil supaya para pembeli dapat memilih-milih mana ikan yang elok untuk dibeli.
Si Minang merangkulku seraya berkata, “Terima kasih kawan, Beko1 aku belanja kau makan masakan orang kami. Hari ko2 banyak laku jualan kita. ”
Aku hanya mengangguk sambil berkemas-kemas untuk kembali istirahat di rumah panggungku. Kulihat Minang dengan semangatnya ia selalu saja rajin berjualan setiap harinya. Padahal aku pikir untungnya tak seberapalah dibandingkan dengan aku menangkap ikan sendiri dan langsung menjualnya ke pedagang yang biasa langganan untuk membeli ikanku
Makin hari si Minang semakin gemar menjajakan jualannya ke Pekan. Kali ini tak hanya ikan, barang-barang masakan lainnya juga ia tawarkan kepada orang-orang. Entah apa isi otak kawanku satu ini, aku pun tak tahu. Yang kutahu, aku hidup dengan menangkap ikan di sungai. Kerjanya tak terlalu susah dan juga penghasilannya lumayan untuk melengkapi hidup sendiri.
“Nang, ikut aku menjala ikan yok. Lama dah kau tak ikut aku menjala ikan.” Ajakku.
Pemuda berambut ikal itu pun berucap, “masih banyak barang daganganku yang belum terjual ni. Kalau aku tak jualan, sedikitlah pendapatanku. Kapan mau untung besar. Apalagi dalam waktu dekat ini Datuk Kerajaan hendak berkunjung ke dearah kita ni, pasti ramai orang di pekan nantinya. Itulah kesempatan aku jualan. Lagi pun, sekejap lagi kawan-kawan aku dari kampung pun hendak merantau ke sini juga. Bisalah aku ajak mereka jualan ramai-ramai. Supaya bisa kami yang menguasai harga pasaran. Kau pergi sajalah sendiri, nanti kau jual saja dengan aku ikan kau tu, biar aku yang borong punya kau lagi.”
Kali ini aku mati kata. Tak tahu hendak berucap apa lagi. Segera pula aku memikul peralatanku untuk menuju ke arah sungai.
Melewati beberapa hari ini, aku dikenalkan oleh Minang dengan teman-temannya dari kampung. Mereka sama juga tabiatnya dengan si Minang. Mereka ke sini hendak berdagang juga seperti Minang.
Jelang seminggu dari kedatangan mereka, terlihat di pekan lebih ramai yang berdagang itu orang-orang yang satu kampung dengan si Minang. Mereka sangat akrab dengan masyarakat, maka tak heran dagangan mereka laris selalu. Juga mereka telah bisa membeli tanah untuk mendirikan rumah mereka yang juga dijadikan kedai untuk menjual alat-alat rumah tangga. Hampir di setiap sudut bandar senapelan, mereka yang mendiami.
Kami orang negeri ini hanya sibuk menjala ikan di laut. Ada juga dari yang ikut seperti si Minang. Tapi itu tak seberapa.
Setelah melewati beberapa tahun, aku pun telah bersanding di pelaminan bersama istriku. Sedangkan si Minang telah hidup mapan dengan penghasilan yang besar dari perdagangannya. Daerah kami pun telah penuh dengan orang-orang dari kampungnya si Minang yang merantau ke sini. Orang-orang kami hanya sibuk dengan pekerjaan menjadi nelayan, berkebun, kerja di pabrik-pabrik, serta kerja-kerja bergengsi lainnya. Orang-orang kami hanya sebagai konsumen terbesar di negeri sendiri. Si Minang telah sukses bersama orang-orangnya dan mereka pun telah meramaikan negeri kami.
“Hebat kau Minang. Hidup dah bertuah sekarang ya. Ternyata jerih payah kau berdagang dulu berbuah juga. Begitu juga kawan-kawan kau tuh.” Bualku petang itu dengan si Minang.
“Macam inilah orang kami. Harus merantau ke negeri orang, buatlah apa yang patut. Salah satu yang aku buat adalah berdagang inilah. Berkat kau juga aku bisa begini” jelasnya.
“Sudahlah. Yang pasti kita majukan negeri ini.”
Kami saling merangkul.
Kini kampungku diramaikan oleh orang-orang dari kampungnya si Minang. Pekan pun terasa riuh dengan aktivitas perdagangan. Kami sepertinya terpaksa menepi. Layaknya orang asing di negeri sendiri. Tapi, pemerintah negeri ini masih dikuasai oleh orang-orang kami, juga adat kami masih dijunjung tinggi. Puaknya aku ternyata tak sama tabiatnya dengan puak si Minang.
Riauyangriuh, Tepi Juni 2010
1 Nanti
2 Ini
“Esok kita ke sungai sajalah. Banyak ikan yang hendak dijala.” Dengan eloknya aku mengajak pemuda itu. Dialah sahabat karibku. Kadang bergaduh, juga akrab tak pula jenuh.
Beberapa hari ini dia selalu saja menolak ajakanku untuk menangkap ikan di sungai. Entah apa kiranya, tak pernah memberi alasan. Langsung saja ia pergi menuju pasar tepi sungai itu. Pelan-pelan aku tinggalkan jalaku dan segera mengekorinya dari sekian jarak. Rupanya ia hendak menjajakan ikan kering yang telah ia simpan dahulu kepada masyarakat negeri itu. Dia pernah bercerita, keluarganya sangat pandai dalam berdagang. Semua adik-beradiknya jadi pedagang.
Memang dia seorang perantau. Dia akrab dipanggil Minang. Sejak ia datang ke negeriku ini, akulah yang jadi rekan pertamanya. Karena orang kami suka mencari ikan di tepi sungai Siak, maka dia pun turut bersama kami.
“Ikan ini kalau dijual berapa harganya ya?” tanya minang dengan logatnya yang masih kental.
“Sekilo paling-paling lima puluh sen. Tapi kalau kita jajakan dari rumah ke rumah, bisa dapat lebihlah.” Jelasku cepat.
Keluargaku adalah nelayan. Aku turut juga menyelami dunia nelayan itu. Sejak kapal-kapal dari Melaka, Johor, atau kapal pedagang dari India dan Cina yang berlabuh di tepi sungai negeri kami ini, aku pasti sibuk mencari alat-alat rumah tangga yang biasa mereka bawa di kapal mereka untuk dijual.
Namaku melayu. Terlahir di negeri yang kaya akan alamnya. Tempat di mana adat nenek moyang masih dijunjung tinggi. Orang-orang suka mengajakku jika mereka hendak menjala ikan di sungai.
“Melayu, ikut aku jual ikan yok.” Ajak si Minang mengejutkan tidurku pagi itu. Sebuah kebiasaan sebelum hari mulai tinggi, tidur.
Dengan bergegas kami menjejakkan kaki ke tengah pasar, tempat di mana orang lalu-lalang mencari materi kehidupan. Beberapa orang kulihat dengan barang dagangan yang melimpah-ruah. Sesekali juga orang-orang menawarkan dengan harga murah.
Lain hal dengan Minang, sangat lihai dalam berusaha. Walau masih belia, orang-orang suka membeli ikan kering yang ia hidangkan. Hari itu ia dapat uang lebih besar dari hari yang lalu.
Kami anak negeri ini hanya hidup berharap pada arus sungai. Kadang pasang, kadang juga surut. Bintang layang-layanglah yang selalu menjadi kompas alam kami agar tahu tentang cuaca alam.
***
Mengenai negeriku, kerajaan Siak Sri Indrapura pernah bertahta di tempat kami yakni di Senapelan. Hal itu terjadi di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4 dan diteruskan puteranya pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai Sultan Siak ke-5. Dikisahkan, di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah memindahkan pusat kerajaan dari Mempura ke tempat kami ini sebagai pusat kerajaan Siak.
Pada suatu masa, Sultan Alamuddin Syah meninggal dan diberi gelar Marhum Bukit. Sultan Alamuddin Syah digantikan oleh puteranya Tengku Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Pada masa pemerintahan beliau, daerah kami berkembang pesat dengan aktivitas perdagangannya. Para pedagang datang dari segala penjuru. Maka untuk menampung derasnya arus perdagangan tersebut, dibuatlah sebuah “Pekan” atau pasar yang baru.
Pekan Baharu ini didirikan karena pertimbangan pekan lama yang didirikan oleh sultan Abdul Jalil tidak ramai dikunjungi. Karena itulah raja Muda Muhammad Ali kemudian memindahkannya ke pinggiran Sungai Siak.
Awal nama daerah kami ini senapelan. Namun, pada suatu waktu berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu.
Memang awalnya kampung kami adalah sebuah kampung nelayan yang sunyi di pinggiran Sungai Siak, kini telah menjelma menjadi gadis cantik yang menggiurkan. Berbagai-bagai puak dan suku bangsa datang ke dearah tuah ini. Termasuk si Minang.
***
“Ke pasar yok!” lagi-lagi ia mengajakku ke tempat favoritnya.
Dengan selaksa langkah kami menuju pekan yang sangat ramai dengan warna kulit puak-puak lainnya. Sederat ikan kami tajakan di atas meja kecil supaya para pembeli dapat memilih-milih mana ikan yang elok untuk dibeli.
Si Minang merangkulku seraya berkata, “Terima kasih kawan, Beko1 aku belanja kau makan masakan orang kami. Hari ko2 banyak laku jualan kita. ”
Aku hanya mengangguk sambil berkemas-kemas untuk kembali istirahat di rumah panggungku. Kulihat Minang dengan semangatnya ia selalu saja rajin berjualan setiap harinya. Padahal aku pikir untungnya tak seberapalah dibandingkan dengan aku menangkap ikan sendiri dan langsung menjualnya ke pedagang yang biasa langganan untuk membeli ikanku
Makin hari si Minang semakin gemar menjajakan jualannya ke Pekan. Kali ini tak hanya ikan, barang-barang masakan lainnya juga ia tawarkan kepada orang-orang. Entah apa isi otak kawanku satu ini, aku pun tak tahu. Yang kutahu, aku hidup dengan menangkap ikan di sungai. Kerjanya tak terlalu susah dan juga penghasilannya lumayan untuk melengkapi hidup sendiri.
“Nang, ikut aku menjala ikan yok. Lama dah kau tak ikut aku menjala ikan.” Ajakku.
Pemuda berambut ikal itu pun berucap, “masih banyak barang daganganku yang belum terjual ni. Kalau aku tak jualan, sedikitlah pendapatanku. Kapan mau untung besar. Apalagi dalam waktu dekat ini Datuk Kerajaan hendak berkunjung ke dearah kita ni, pasti ramai orang di pekan nantinya. Itulah kesempatan aku jualan. Lagi pun, sekejap lagi kawan-kawan aku dari kampung pun hendak merantau ke sini juga. Bisalah aku ajak mereka jualan ramai-ramai. Supaya bisa kami yang menguasai harga pasaran. Kau pergi sajalah sendiri, nanti kau jual saja dengan aku ikan kau tu, biar aku yang borong punya kau lagi.”
Kali ini aku mati kata. Tak tahu hendak berucap apa lagi. Segera pula aku memikul peralatanku untuk menuju ke arah sungai.
Melewati beberapa hari ini, aku dikenalkan oleh Minang dengan teman-temannya dari kampung. Mereka sama juga tabiatnya dengan si Minang. Mereka ke sini hendak berdagang juga seperti Minang.
Jelang seminggu dari kedatangan mereka, terlihat di pekan lebih ramai yang berdagang itu orang-orang yang satu kampung dengan si Minang. Mereka sangat akrab dengan masyarakat, maka tak heran dagangan mereka laris selalu. Juga mereka telah bisa membeli tanah untuk mendirikan rumah mereka yang juga dijadikan kedai untuk menjual alat-alat rumah tangga. Hampir di setiap sudut bandar senapelan, mereka yang mendiami.
Kami orang negeri ini hanya sibuk menjala ikan di laut. Ada juga dari yang ikut seperti si Minang. Tapi itu tak seberapa.
Setelah melewati beberapa tahun, aku pun telah bersanding di pelaminan bersama istriku. Sedangkan si Minang telah hidup mapan dengan penghasilan yang besar dari perdagangannya. Daerah kami pun telah penuh dengan orang-orang dari kampungnya si Minang yang merantau ke sini. Orang-orang kami hanya sibuk dengan pekerjaan menjadi nelayan, berkebun, kerja di pabrik-pabrik, serta kerja-kerja bergengsi lainnya. Orang-orang kami hanya sebagai konsumen terbesar di negeri sendiri. Si Minang telah sukses bersama orang-orangnya dan mereka pun telah meramaikan negeri kami.
“Hebat kau Minang. Hidup dah bertuah sekarang ya. Ternyata jerih payah kau berdagang dulu berbuah juga. Begitu juga kawan-kawan kau tuh.” Bualku petang itu dengan si Minang.
“Macam inilah orang kami. Harus merantau ke negeri orang, buatlah apa yang patut. Salah satu yang aku buat adalah berdagang inilah. Berkat kau juga aku bisa begini” jelasnya.
“Sudahlah. Yang pasti kita majukan negeri ini.”
Kami saling merangkul.
Kini kampungku diramaikan oleh orang-orang dari kampungnya si Minang. Pekan pun terasa riuh dengan aktivitas perdagangan. Kami sepertinya terpaksa menepi. Layaknya orang asing di negeri sendiri. Tapi, pemerintah negeri ini masih dikuasai oleh orang-orang kami, juga adat kami masih dijunjung tinggi. Puaknya aku ternyata tak sama tabiatnya dengan puak si Minang.
Riauyangriuh, Tepi Juni 2010
1 Nanti
2 Ini
Kapal Sabut
Sadry El-Metafor
“Pak Cik kita kan ada. Lewat dia saja. Pasti masuk tuh.” Lagi-lagi dia meyakinkan. Sebagai sepupunya, aku tak kuasa berdebat. Hanya jawaban singkat sajalah yang dapat kusuguhkan hingga alis matanya menukik ke atas, heran.
Ahad lalu, baru saja aku sempat memakai toga wisuda dengan berfoto-foto sekeluarga. Gelar Cikgu secara formal telah kudapatkan dengan predikat mumtaz, cumlaude.
Lalu, keluargaku menyebutkanku sebagai “orang bodoh”. Entah kenapa aku dikatakan bodoh. Memang, masa kanak-kanak dahulu aku selalu dikatakan oleh kawan-kawanku sebagai budak bodoh, karena aku hanya dapat bermain kapal-kapalan di tepian parit dengan menggunakan kapal sabut. Sedang mereka membuat kapal-kapal kayu disertai dengan dinamo. Aku bodoh, dulu.
Tapi sekarang kenapa gelar itu masih ada. Padahal aku tak lagi berkayuh dengan kapal sabut itu.
“Ramai orang nak lulus itu. Tapi engkau tak mau pula. Nak jadi apa kau ni? Heran betul aku dengan diri engkau ni, Man” celah kawanku dengan nada pelik di ujung pelabuhan. Seketika itu aku hanya mengisi waktu senggangku dengan menjamah buku-buku di ujung dermaga. Sekali-kali kawan-kawan lamaku menghampiriku di sana. Untuk menyumpahku.
“Aku takut ayat Allah, Jal. Biarlah Allah yang menentukan ke jalan mana yang lebih baik.” Jelasku datar.
Jefrijal, teman sebangku saat di Sekolah Dasar dulu mengilah, alisnya agak melenting, “Tapi, inilah jalan yang Allah tunjukkan kepada engkau. Jangan kau sia-siakan pula. Kesejahteraanmu di sini.”
“Yang pasti, ini bukan sebuah keangkuhanku. Bukan pula tak menghargai. Tapi hati ini berkata lain.” Jawabku agak mengambang, dia mengkerutkan dahinya.
“Tapi tak elok kalau engkau menolak rezeki.” Bantahnya lagi.
“Setitik pun tak ada niatku begitu. Aku selalu berusaha untuk bersyukur. Tapi maaf, untuk jalan yang satu ini, bukan jalan terbaik menurutku. Mungkin juga tak baik menurut Allah. Jalan murka.” Keilmuanku selama menuntut ilmu di Kampus mulai beradegan di sel-sela dialog.
“Terserah engkau lah.” kawanku satu ini yang sebenarnya orang penting di kampungku ini gagal membengkokkan pikiranku.
Setiap hari aku disumbat dengan kata-kata “bodoh” dari berbagai dialog dengan kawan-kawanku, terutama keluargaku. Mereka selalu saja menerorku dengan sebilah pikiran mereka yang membodohkan pikiranku. Padahal pikiranku bukanlah pikiran kapal sabut masa laluku.
“Biarkan saja aku dengan kebodohanku. Biarkan juga kalau aku aneh. Prinsip kita memang tak perlu sama. Biarkan saja kebodohan dan keanehanku menuai buah ranum nanti di suatu ketika. Tunggu saja tanggal mainnya.” Mereka semua mulai bingung dengan gagasanku. “Biarlah mereka bingung,” hatiku membela.
“Kenapa kau tak mau, Man? Kalau kau lulus itu, elok juga engkau di mata orang nanti. Dapat kau cepat beristri. Abah pun ingin menimang cucu.” Kata-kata abah menyentuh subuh itu. Usai shalat subuh berjama’ah, aku kembali dihadapkan dengan persoalan hati ini. Serasa tak kuasa aku membangkangnya ketika kuteringat firman Allah yang berbicara tentang “berlemah lembut dengan orang tua”.
Aku mencoba menggunakan bahasa jiwa agar prinsipku dapat mereka maklumi. Memang mereka hanya tamatan sekolah rakyat. Namun, pasti mereka cukup idealis tentang pikiran anaknya ini. Dugaanku yakin. “Abah, maaf Abah. Leman bukan tak mau, Bah. Tapi Allah melarang leman untuk menempuh jalan itu. Allah mengingatkan leman di dalam firmannya tentang murkanya allah terhadap hal tersebut.”
“hmm…” Abah mengalihkan pandangan matanya ke arah bilik-bilik kayu rumah tua itu. Hening sejenak.
“baiklah Leman. abah paham maksud engkau. Tapi, jelaskan pada Emak kau tu. Setiap hari, dia masih saja berharap dikau ikut jalan itu, Man.” Abah mulai luluh. Tapi jawaban Abah tak cukup untuk menenangkan hati ini.
“Abah, Leman cuma minta tolong. Katakan sama Pak Usup, Leman tak bisa memenuhi permintaannya untuk ikut cara itu.” Sedikit kububuhkan dengan nada sendu.
***
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sangat banyak orang yang mendambakan profesi itu. Terutama orang kampungku. Profesi yang menjadi rebutan dengan harapan jaminan kesejahteraan hidup mereka. Sebenarnya aku juga menginginkannya. Minimal salah satu cara untuk mewariskan ilmu yang ada pada diri ini untuk anak negeri. Apa lagi dengan tamatan keguruan. Ada amanah yang besar di sana untuk “mencerdaskan bangsa” sesuai mimpi yang termaktub pada pembukaan Undang-undang dasar 1945.
Tapi, nepotisme bukan caraku. Bukan jalanku. Bukan pula hidupku. Berkompetisi itu seharusnya objektif. Bukan bangga dengan nepotisme. Itulah yang menjadi problema di benakku kini. Juga problema Negara.
“Pak Cik kita ada menjabat di pemerintahan. Kalau nak lulus PNS, lewat dia saja.” Itulah kata yang menyambutku semasa aku pulang dari negeri orang dengan memikul gelar sarjanaku.
“Engkau itu pintar. Berprestasi lagi. Ada bakat. Daripada kau ikut tes yang tak pasti kelulusannya itu, lebih baik dikau lewat pak cik kita saja. Lagi pun dia sudah menawarkan kelulusan itu.” Mereka coba meyakinkanku.
Kapal sabutku. Sepertinya pikiran mereka umpama kapal sabutku dahulu. Pikiran mereka terlalu mudah. Seperti mudah membuat kapal sabut itu. Tak seelok kapal kayu berdinamo kawan-kawnku yang lain.
***
10 agustus 2001…
Seminggu setelah aku menjamah seluruh bujuk rayu mereka…
“Aku mau S2-ku. Tak cukup rasanya hanya secuil ilmu di S1-ku kemarin. aku tak mau kapal sabut lagi. Aku mau kapal yang bisa membawaku keliling dunia. Lulus PNS pakai orang dalam, itu kapal sabut. Aku tak mau pakai kapal sabut lagi. PNS, biarlah nanti kutempuh dengan kapal-kapal intelektual, dengan cara yang halal. Biar hidup penuh tawakal.” Di depan mereka, kawan-kawanku, keluargaku, orang kampungku, sedikit gemetar aku berusaha menjawab semua segala bujuk rayu mereka selama ini.
Tepat di ujung dermaga, menjelang ke perantauan S2-ku. Mereka membisu…***
Ahad lalu, baru saja aku sempat memakai toga wisuda dengan berfoto-foto sekeluarga. Gelar Cikgu secara formal telah kudapatkan dengan predikat mumtaz, cumlaude.
Lalu, keluargaku menyebutkanku sebagai “orang bodoh”. Entah kenapa aku dikatakan bodoh. Memang, masa kanak-kanak dahulu aku selalu dikatakan oleh kawan-kawanku sebagai budak bodoh, karena aku hanya dapat bermain kapal-kapalan di tepian parit dengan menggunakan kapal sabut. Sedang mereka membuat kapal-kapal kayu disertai dengan dinamo. Aku bodoh, dulu.
Tapi sekarang kenapa gelar itu masih ada. Padahal aku tak lagi berkayuh dengan kapal sabut itu.
“Ramai orang nak lulus itu. Tapi engkau tak mau pula. Nak jadi apa kau ni? Heran betul aku dengan diri engkau ni, Man” celah kawanku dengan nada pelik di ujung pelabuhan. Seketika itu aku hanya mengisi waktu senggangku dengan menjamah buku-buku di ujung dermaga. Sekali-kali kawan-kawan lamaku menghampiriku di sana. Untuk menyumpahku.
“Aku takut ayat Allah, Jal. Biarlah Allah yang menentukan ke jalan mana yang lebih baik.” Jelasku datar.
Jefrijal, teman sebangku saat di Sekolah Dasar dulu mengilah, alisnya agak melenting, “Tapi, inilah jalan yang Allah tunjukkan kepada engkau. Jangan kau sia-siakan pula. Kesejahteraanmu di sini.”
“Yang pasti, ini bukan sebuah keangkuhanku. Bukan pula tak menghargai. Tapi hati ini berkata lain.” Jawabku agak mengambang, dia mengkerutkan dahinya.
“Tapi tak elok kalau engkau menolak rezeki.” Bantahnya lagi.
“Setitik pun tak ada niatku begitu. Aku selalu berusaha untuk bersyukur. Tapi maaf, untuk jalan yang satu ini, bukan jalan terbaik menurutku. Mungkin juga tak baik menurut Allah. Jalan murka.” Keilmuanku selama menuntut ilmu di Kampus mulai beradegan di sel-sela dialog.
“Terserah engkau lah.” kawanku satu ini yang sebenarnya orang penting di kampungku ini gagal membengkokkan pikiranku.
Setiap hari aku disumbat dengan kata-kata “bodoh” dari berbagai dialog dengan kawan-kawanku, terutama keluargaku. Mereka selalu saja menerorku dengan sebilah pikiran mereka yang membodohkan pikiranku. Padahal pikiranku bukanlah pikiran kapal sabut masa laluku.
“Biarkan saja aku dengan kebodohanku. Biarkan juga kalau aku aneh. Prinsip kita memang tak perlu sama. Biarkan saja kebodohan dan keanehanku menuai buah ranum nanti di suatu ketika. Tunggu saja tanggal mainnya.” Mereka semua mulai bingung dengan gagasanku. “Biarlah mereka bingung,” hatiku membela.
“Kenapa kau tak mau, Man? Kalau kau lulus itu, elok juga engkau di mata orang nanti. Dapat kau cepat beristri. Abah pun ingin menimang cucu.” Kata-kata abah menyentuh subuh itu. Usai shalat subuh berjama’ah, aku kembali dihadapkan dengan persoalan hati ini. Serasa tak kuasa aku membangkangnya ketika kuteringat firman Allah yang berbicara tentang “berlemah lembut dengan orang tua”.
Aku mencoba menggunakan bahasa jiwa agar prinsipku dapat mereka maklumi. Memang mereka hanya tamatan sekolah rakyat. Namun, pasti mereka cukup idealis tentang pikiran anaknya ini. Dugaanku yakin. “Abah, maaf Abah. Leman bukan tak mau, Bah. Tapi Allah melarang leman untuk menempuh jalan itu. Allah mengingatkan leman di dalam firmannya tentang murkanya allah terhadap hal tersebut.”
“hmm…” Abah mengalihkan pandangan matanya ke arah bilik-bilik kayu rumah tua itu. Hening sejenak.
“baiklah Leman. abah paham maksud engkau. Tapi, jelaskan pada Emak kau tu. Setiap hari, dia masih saja berharap dikau ikut jalan itu, Man.” Abah mulai luluh. Tapi jawaban Abah tak cukup untuk menenangkan hati ini.
“Abah, Leman cuma minta tolong. Katakan sama Pak Usup, Leman tak bisa memenuhi permintaannya untuk ikut cara itu.” Sedikit kububuhkan dengan nada sendu.
***
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sangat banyak orang yang mendambakan profesi itu. Terutama orang kampungku. Profesi yang menjadi rebutan dengan harapan jaminan kesejahteraan hidup mereka. Sebenarnya aku juga menginginkannya. Minimal salah satu cara untuk mewariskan ilmu yang ada pada diri ini untuk anak negeri. Apa lagi dengan tamatan keguruan. Ada amanah yang besar di sana untuk “mencerdaskan bangsa” sesuai mimpi yang termaktub pada pembukaan Undang-undang dasar 1945.
Tapi, nepotisme bukan caraku. Bukan jalanku. Bukan pula hidupku. Berkompetisi itu seharusnya objektif. Bukan bangga dengan nepotisme. Itulah yang menjadi problema di benakku kini. Juga problema Negara.
“Pak Cik kita ada menjabat di pemerintahan. Kalau nak lulus PNS, lewat dia saja.” Itulah kata yang menyambutku semasa aku pulang dari negeri orang dengan memikul gelar sarjanaku.
“Engkau itu pintar. Berprestasi lagi. Ada bakat. Daripada kau ikut tes yang tak pasti kelulusannya itu, lebih baik dikau lewat pak cik kita saja. Lagi pun dia sudah menawarkan kelulusan itu.” Mereka coba meyakinkanku.
Kapal sabutku. Sepertinya pikiran mereka umpama kapal sabutku dahulu. Pikiran mereka terlalu mudah. Seperti mudah membuat kapal sabut itu. Tak seelok kapal kayu berdinamo kawan-kawnku yang lain.
***
10 agustus 2001…
Seminggu setelah aku menjamah seluruh bujuk rayu mereka…
“Aku mau S2-ku. Tak cukup rasanya hanya secuil ilmu di S1-ku kemarin. aku tak mau kapal sabut lagi. Aku mau kapal yang bisa membawaku keliling dunia. Lulus PNS pakai orang dalam, itu kapal sabut. Aku tak mau pakai kapal sabut lagi. PNS, biarlah nanti kutempuh dengan kapal-kapal intelektual, dengan cara yang halal. Biar hidup penuh tawakal.” Di depan mereka, kawan-kawanku, keluargaku, orang kampungku, sedikit gemetar aku berusaha menjawab semua segala bujuk rayu mereka selama ini.
Tepat di ujung dermaga, menjelang ke perantauan S2-ku. Mereka membisu…***
Kampung Terapung
Sadry El-Metafor
Gunto, ujung Agusutus 1987…
Bekerja jauh di pulau seberang tentu membesit kerinduan pada keluarga di kampung tersayang. Menoreh rezeki sebagai pekerja kasar pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengelolaan minyak mentah. Dalam sebulan hanya seminggu ia bisa bercengkerama kembali bersama keluarga. Seperti hari ini, terlihat Semat di ujung dermaga. Hampir tiga pekan lelaki beranak tiga itu tidak berpijak di kampungnya sendiri. Kepulangannya ke kampung bukan karena rindu dengan anak bininya, tapi hari itu ia hanya sekedar singgah untuk mengantarkan barang perusahaan menggunakan speedboat ke pulau itu.
“Mat, ada barang baru? Radio yang kemarin tu sudah rusak pulak,” teriak seseorang dari pangkal pelabuhan kampung, sembari melangkahi satu per satu anak tangga menyambut kedatangan Semat pagi itu.
“Tak sempat saya bawa Pak Cik Atan. Saya hanya singgah sekejap saja hari ini. Sambil menunggu jemputan barang perusahaan untuk kampung seberang sana,” jawab Semat singkat.
“Macam tu. Pak Cik kira engkau bawa kapal tu untuk Pak Cik tadi,” canda Pak Cik Atan sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah speedboat yang dinaiki Semat tadi, memecahkan keheningan pagi. Memang setiap kali Semat kembali ke kampung, kadang-kadang ia membawa barang-barang elektronik baru untuk dijual pada orang kampung, terutama pada Pak Cik Atan sebagai langganannya.
Kedua orang itu melepas tawa dan berpisah di beranda pelabuhan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Suasana kampung sungguh memikat hati. Walau masih banyak anak-anak kecil bertelanjang dada seraya bermain bersama rekan-rekannya mengitari tepian pantai. Kampung itu, kampung Gunto yang tidak beranjak dari kemiskinan sejak puluhan tahun lamanya.
Di perjalanan menuju rumah, semat bertemu Ara dan tiga anaknya, Ilman, Ijal, dan Idris. Ketiganya berlarian meyambut ayahnya karena rasa rindu di dada seakan hendak meledak untuk meluapkan segala lahar kemesraan. Ara yang mengenakan kebaya hijau dipadu selendang putih dan sandal jepit yang mulai usang, hanya menyambut suaminya dengan memasang senyum tipis menahan rindu di hati.
“Cepat Abang pulang?” tanya Ara heran.
Dengan nada datar Semat berkata, “singgah saja.”
Keduanya terdiam sejenak. Sedang anaknya kembali bermain di tengah lapangan samping pelabuhan.
Semat dan Ara telah menikah sebelas tahun silam. Walau hari-harinya dipisah oleh jarak, namun kasih sayang yang mereka agihkan akrab dan harmoni sepanjang waktu. Cinta.
***
Di kedai kopi wak Sudin, Semat biasanya akan sering bertanya tentang banyak hal. Seakan kedai beratap rumbia itu menjadi pusat informasi orang-orang kampung. Maklumlah, di kedai ini orang tua-tua kampung berkumpul, terutama para lelaki, sekedar bual-bual kosong. Kedai yang sederhana. Tempat angin bermadu kasih, hingga setiap orang yang duduk terlena.
“Mat, dah lama tak nampak? Baru pulang kerja?” tanya Sapri sekedar berbasa-basi menyambut kehadiran teman dekatnya yang baru saja turun dari dermaga.
“Macam biasalah kawan. Berkubang dengan kerak-kerak minyak. Tak terlalulah yang didapat,” tutur Semat dengan suara baritonnya.
“Mau minum apa? Sudah lama kau tak minum kopi Wak kau ni.” Celah Wak Sudin dari meja kasirnya, memutuskan perbincangan awal kedua sahabat tadi.
“Yang biasa sajalah Wak. Tapi jangan terlalu manis ya.”
Setelah kopi dihidangkan, semua sibuk dengan menyeruput aroma kopi pekat khas orang kampung ini. Hidangan hangat itu tak dibiarkan ia mendingin. Dengan lahap mereka saling menyeduh. Sapri pun kembali membuka dialog.
“Ei Mat, kau dah dapat kabar?”
“Kabar apa tu?”
“Kabar yang memilukan, Mat. Tapi kau harus jaga emosi, semua orang kampung sudah tahu tentang hal ini.”
“Apa tuh? Jangan buat aku takutlah. Cakap! Cakap! Cakap!” dengan tak sabarnya semat menceracau.
“begini Mat, sepekan terakhir ni perusahaan yang selalu mengganggu kampung kita ini kembali membuat gugatan atas hak tanah dari kampung kita ini. Penghulu kita pun tak dapat nak berbuat apa. Surat tanah kampung kita pun tak ada. Yang kita tahu tanah ini milik nenek moyang kita dulu. Nak berunding pun kita tak punya bukti kuat tentang administrasi tanah ini.”
Seakan ingin menghempaskan badan, Semat terdiam. Tangannya menggigil seiring wajahnya yang merah padam. Gerahamnya beradu bunyi pertanda emosi tersimpan dalam. Meluapkan isi hati pada hamparan tanah yang ia tatap di celah jendela kedai Wak Sudin merupakan tanah sengketa yang tak berkesudahan. Namun emosi ini tak dapat diaplikasi oleh tubuh luarnya. Hanya berkecamuk dalam dada kecilnya saja. Suasana mulai hening di tempat tongkrongan para peminum kopi kelas ringan itu.
“Habislah kita, Mat.”
Kata penutup dari Sapri dengan sebatang rokok yang sudah memendek di celah jarinya, menutup perbincangan panas pagi itu. Semat menggelora. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya bersatu padu untuk memikirkan nasib bininya, anaknya, orang kampungnya.
“Penghulu pun tak dapat berbuat apa-apa lagi, Mat.” Celah Yusuf pula yang sedari tadi mengikuti alur dialog mereka berdua. Hening.
***
sejak hari itu, Semat tak lagi menampakkan batang hidungnya. Ia kembali ke kampung seberang dengan dibekali setungkah masalah besar yang mengancam orang kampung, terutama anak bininya. Ia lesap begitu saja meninggalkan keluarga. Begitu juga dengan kampung Gunto. Balai adat, mesjid di tengah kampung, tak lagi ada yang mengurusi. Semua pupus dimakan alam. Semak belukar membalut seluruh isi kampung. Flora dan fauna hilang bersama populasinya. Sedang kemegahan perusahaan minyak milik orang asing itu berdiri kokoh, namun hina di mata orang Kampung Gunto.
Setelah beberapa pekan dari kepergian Semat dari kampungnya lalu, Semat kini kembali dengan speedboat tumpangannya. Dari tengah laut ia berharap kampungnya masih ada canda tawa, dan anak bininya pun masih bisa bercengkerama dengan leluasanya. Namun minda itu hampa. Ketika sudah mendekati bibir pantai, terlihat rumah-rumah mengapung di asinnya air laut. Rumah panggung yang tinggi berada di atas permukaan pantai. Terlihat tiga orang anak sedang asyik berenang di bawahnya. Itulah mereka, Ilman, Ijal, dan Idris, anak-anak Semat yang kini terkikis dari kampungnya sendiri. Dalam uraian air mata, semat kembali berpeluk kasih dengan keluarga tercinta. Sedangkan kampungnya, kini mengapung bersama air mata rakyat yang tak terbendung.
TepiRiau, Tengah Maret 2011
Bekerja jauh di pulau seberang tentu membesit kerinduan pada keluarga di kampung tersayang. Menoreh rezeki sebagai pekerja kasar pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengelolaan minyak mentah. Dalam sebulan hanya seminggu ia bisa bercengkerama kembali bersama keluarga. Seperti hari ini, terlihat Semat di ujung dermaga. Hampir tiga pekan lelaki beranak tiga itu tidak berpijak di kampungnya sendiri. Kepulangannya ke kampung bukan karena rindu dengan anak bininya, tapi hari itu ia hanya sekedar singgah untuk mengantarkan barang perusahaan menggunakan speedboat ke pulau itu.
“Mat, ada barang baru? Radio yang kemarin tu sudah rusak pulak,” teriak seseorang dari pangkal pelabuhan kampung, sembari melangkahi satu per satu anak tangga menyambut kedatangan Semat pagi itu.
“Tak sempat saya bawa Pak Cik Atan. Saya hanya singgah sekejap saja hari ini. Sambil menunggu jemputan barang perusahaan untuk kampung seberang sana,” jawab Semat singkat.
“Macam tu. Pak Cik kira engkau bawa kapal tu untuk Pak Cik tadi,” canda Pak Cik Atan sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah speedboat yang dinaiki Semat tadi, memecahkan keheningan pagi. Memang setiap kali Semat kembali ke kampung, kadang-kadang ia membawa barang-barang elektronik baru untuk dijual pada orang kampung, terutama pada Pak Cik Atan sebagai langganannya.
Kedua orang itu melepas tawa dan berpisah di beranda pelabuhan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Suasana kampung sungguh memikat hati. Walau masih banyak anak-anak kecil bertelanjang dada seraya bermain bersama rekan-rekannya mengitari tepian pantai. Kampung itu, kampung Gunto yang tidak beranjak dari kemiskinan sejak puluhan tahun lamanya.
Di perjalanan menuju rumah, semat bertemu Ara dan tiga anaknya, Ilman, Ijal, dan Idris. Ketiganya berlarian meyambut ayahnya karena rasa rindu di dada seakan hendak meledak untuk meluapkan segala lahar kemesraan. Ara yang mengenakan kebaya hijau dipadu selendang putih dan sandal jepit yang mulai usang, hanya menyambut suaminya dengan memasang senyum tipis menahan rindu di hati.
“Cepat Abang pulang?” tanya Ara heran.
Dengan nada datar Semat berkata, “singgah saja.”
Keduanya terdiam sejenak. Sedang anaknya kembali bermain di tengah lapangan samping pelabuhan.
Semat dan Ara telah menikah sebelas tahun silam. Walau hari-harinya dipisah oleh jarak, namun kasih sayang yang mereka agihkan akrab dan harmoni sepanjang waktu. Cinta.
***
Di kedai kopi wak Sudin, Semat biasanya akan sering bertanya tentang banyak hal. Seakan kedai beratap rumbia itu menjadi pusat informasi orang-orang kampung. Maklumlah, di kedai ini orang tua-tua kampung berkumpul, terutama para lelaki, sekedar bual-bual kosong. Kedai yang sederhana. Tempat angin bermadu kasih, hingga setiap orang yang duduk terlena.
“Mat, dah lama tak nampak? Baru pulang kerja?” tanya Sapri sekedar berbasa-basi menyambut kehadiran teman dekatnya yang baru saja turun dari dermaga.
“Macam biasalah kawan. Berkubang dengan kerak-kerak minyak. Tak terlalulah yang didapat,” tutur Semat dengan suara baritonnya.
“Mau minum apa? Sudah lama kau tak minum kopi Wak kau ni.” Celah Wak Sudin dari meja kasirnya, memutuskan perbincangan awal kedua sahabat tadi.
“Yang biasa sajalah Wak. Tapi jangan terlalu manis ya.”
Setelah kopi dihidangkan, semua sibuk dengan menyeruput aroma kopi pekat khas orang kampung ini. Hidangan hangat itu tak dibiarkan ia mendingin. Dengan lahap mereka saling menyeduh. Sapri pun kembali membuka dialog.
“Ei Mat, kau dah dapat kabar?”
“Kabar apa tu?”
“Kabar yang memilukan, Mat. Tapi kau harus jaga emosi, semua orang kampung sudah tahu tentang hal ini.”
“Apa tuh? Jangan buat aku takutlah. Cakap! Cakap! Cakap!” dengan tak sabarnya semat menceracau.
“begini Mat, sepekan terakhir ni perusahaan yang selalu mengganggu kampung kita ini kembali membuat gugatan atas hak tanah dari kampung kita ini. Penghulu kita pun tak dapat nak berbuat apa. Surat tanah kampung kita pun tak ada. Yang kita tahu tanah ini milik nenek moyang kita dulu. Nak berunding pun kita tak punya bukti kuat tentang administrasi tanah ini.”
Seakan ingin menghempaskan badan, Semat terdiam. Tangannya menggigil seiring wajahnya yang merah padam. Gerahamnya beradu bunyi pertanda emosi tersimpan dalam. Meluapkan isi hati pada hamparan tanah yang ia tatap di celah jendela kedai Wak Sudin merupakan tanah sengketa yang tak berkesudahan. Namun emosi ini tak dapat diaplikasi oleh tubuh luarnya. Hanya berkecamuk dalam dada kecilnya saja. Suasana mulai hening di tempat tongkrongan para peminum kopi kelas ringan itu.
“Habislah kita, Mat.”
Kata penutup dari Sapri dengan sebatang rokok yang sudah memendek di celah jarinya, menutup perbincangan panas pagi itu. Semat menggelora. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya bersatu padu untuk memikirkan nasib bininya, anaknya, orang kampungnya.
“Penghulu pun tak dapat berbuat apa-apa lagi, Mat.” Celah Yusuf pula yang sedari tadi mengikuti alur dialog mereka berdua. Hening.
***
sejak hari itu, Semat tak lagi menampakkan batang hidungnya. Ia kembali ke kampung seberang dengan dibekali setungkah masalah besar yang mengancam orang kampung, terutama anak bininya. Ia lesap begitu saja meninggalkan keluarga. Begitu juga dengan kampung Gunto. Balai adat, mesjid di tengah kampung, tak lagi ada yang mengurusi. Semua pupus dimakan alam. Semak belukar membalut seluruh isi kampung. Flora dan fauna hilang bersama populasinya. Sedang kemegahan perusahaan minyak milik orang asing itu berdiri kokoh, namun hina di mata orang Kampung Gunto.
Setelah beberapa pekan dari kepergian Semat dari kampungnya lalu, Semat kini kembali dengan speedboat tumpangannya. Dari tengah laut ia berharap kampungnya masih ada canda tawa, dan anak bininya pun masih bisa bercengkerama dengan leluasanya. Namun minda itu hampa. Ketika sudah mendekati bibir pantai, terlihat rumah-rumah mengapung di asinnya air laut. Rumah panggung yang tinggi berada di atas permukaan pantai. Terlihat tiga orang anak sedang asyik berenang di bawahnya. Itulah mereka, Ilman, Ijal, dan Idris, anak-anak Semat yang kini terkikis dari kampungnya sendiri. Dalam uraian air mata, semat kembali berpeluk kasih dengan keluarga tercinta. Sedangkan kampungnya, kini mengapung bersama air mata rakyat yang tak terbendung.
TepiRiau, Tengah Maret 2011